Friday, July 9, 2010

Innovation system law needed to better utilize local inventions

The Jakarta Post, Thu, 07/08/2010 9:53 AM - National

The Research and Technology Ministry is currently drafting a bill on a national innovation system that, if passed into law, will be able to bridge the gap among researchers and businesspeople, seen as the main hindrance to the development of local technology.

Research and Technology Minister Suharna Surapranata said the draft will be completed by 2014 to be submitted to the House of Representatives for deliberation.

“The law is needed to regulate communication flows among research and technology stakeholders, such as industry, researchers, and the community,” he said during a meeting at the Tangerang-based Center of Science and Technology Research on Tuesday.

National Innovation Committee (KIN) secretary Freddy Permana Zen said the government-sponsored technology centers had made a number of innovations, including energy efficient cars and solar energy.

“The Agency for Assessment and Application of Technology (BPPT) has recently developed stoves that connect directly to LPG canisters, which is much safer.”

He added that the innovations had not yet been developed for mass manufacture and distribution.

“That is why we need a regulation to address the issue by, for instance, providing incentives for industry to have their own research and development divisions,” he added.

Five divisions under the Research and Technology Ministry will discuss ways to find resources and widen networks to facilitate research and technology. They will also push for the productivity of researchers and ensure their inventions are relevant and well utilized.

The National Innovation System was launched by President Susilo Bambang Yudhoyono this year to establish institutions that can push, support, disseminate and implement new innovations in many sectors.

Freddy said the 2002 Law on the National System of Research, Development and Application of Science and Technology had allowed the government to provide incentives to companies that spend more on research and development. A government regulation had been issued to implement the policy, but has been deemed ineffectual.

Manaek Simamora, the head of Commercial Cooperation and Research Utilization Division of the Indonesian Institute of Sciences, said the current 2002 National Research Systems Law and the government regulation were not enough to develop local technology.

“We need strong policy, to serve as a guideline for policy formulation in each sector,” he said.

Indonesia still fails to utilize its own natural resources due to slow technological development, he said.

“Indonesia has not yet fully utilized its coal resources for electricity [production] despite having an abundant supply. Instead of coal, Indonesia uses diesel for electricity, which is expensive,” he said. (map)

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/08/innovation-system-law-needed-better-utilize-local-inventions.html

Saturday, May 15, 2010

Sukarelawan Sistem Inovasi Nasional Indonesia?

Kongres Indonesia (KINDO) 21 melempar gagasan perlu adanya apa yang disebut dengan Sukarelawan Sistem Inovasi Nasional Indonesia. Pemikiran ini muncul pada diskusi yang dilaksanakan pada hari Jum'at, 7 Mei 2010 di LIPI, Jakarta. Topik yang dibahas kali ini adalah Sistem Inovasi Nasional Indonesia. Para peserta diskusi merasakan perlunya para pihak terkait melakukan upaya-upaya ekstra dalam penguatan Sistem Inovasi Nasional Indonesia. Sinergi elemen masyarakat  yang peduli dan Pemerintah sangat diharapkan dalam mengambil langkah-langkah konkrit secara sitematis dan berkesinambungan dalam  penguatan SINAS Indonesia ini. Saling keterkaitan antar elemen inilah yang menjadi inti dari suatu sistem inovasi nasional.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dalam bidang pembangunan Iptek  telah menetapkan Penguatan Sistem Inovasi Nasional sebagai salah satu prioritas. Namun berbagai sektor terkait belum mempunyai pemahaman apalagi komitmen bersama untuk merealisasikannya. Para peserta mengakui bahwa adanya secara eksplisit prioritas penguatan Sinas Indonesia dalam RPJMN 2010-2014 merupakan suatu kemajuan yang sangat penting karena kapasitas inovasi telah menjadi faktor penentu daya saing yang pada gilirannya tingkat kesejahteraan suatu bangsa.

Contoh berbagai negara maju dan 'emerging countries' seperti Brazil, Russia, India, dan China telah membuktikannya. Keunggulan komparatif yang dimiliki suatu bangsa seperti Indonesia hanyalah salah satu faktor yang ternyata bahkan tidak selalu menjadi penentu daya saing. Korea Selatan, Finlandia, China, dan Taiwan adalah beberapa contoh negara yang daya saing industri nasionalnya melejit secara mencengangkan hanya dalam dua dekade terakhir ini. Penguasaan pengetahuan dan inovasi teknologi menjadi faktor penentu utama daya saing negara-negara tersebut.

Para peserta diskusi menyebutkan bahwa faktor kepemimpinan menjadi salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya dalam penguatan kapasitas inovasi nasional tersebut. Peningkatan alokasi pendanaan salah satu input inovasi dalam bentuk Gross Expenditure on Research and Development (GERD) secara konsisten, misalnya, hanya dapat dilakukan dengan adanya Pemimpin yang berpihak pada capaian nasional jangka menengah dan panjang. China misalnya, GERD-nya dalam kurun waktu kurang dari dua dekade telah mencapai lebih dari 1,5% dari total GDP; Malaysia sekitar 0,5%; dan Indonesia pada kurun waktu yang sama mengalami penurunan dan menjadi 0,06% dari total GDP pada tahun 2008 (sekitar 1/10 dari GERD Malaysia!).

Potret salah satu indikator input inovasi ini menimbulkan kegalauan bagi para peserta diskusi terutama karena dirasakan hampir tidak ada indikasi adanya upaya konkrit untuk memperbaikinya. Dengan kondisi seperti ini dapat dipastikan penciptaan 'critical mass' yang menjadi daya ungkit penguatan inovasi hampir mustahil dapat dicapai.

Pembelajaran dari peluncuran program-program 'pro rakyat' yang populis dicoba diadaptasi terhadap advokasi kebijakan dan pelaksanaan program-program penguatan SINAS Indonesia. Seperti dimaklumi, indikator keberhasilan program 'pro rakyat'  biasanya dapat dilihat atau  diukur pada jumlah suara yang diperoleh pada saat pemilu, pilpres, dan pilkada; bukan pada indikator peningkatan kapasitas inovasi. Para peserta mencoba mengeksplorasi 'manfaat' jangka pendek (pada saat pemilu dan pilkada, misalnya) yang dapat dinikmati oleh para pengambil kebijakan. Program-program penguatan SINAS perlu dikemas, misalnya, dengan mengedepankan 'sisi populis' dari program itu seperti program kewirausahaan bagi para pemuda dan pengembangan UMKM. Program-program ini tentulah dapat memberikan 'citra' yang positif bagi para pemilik dan pelaku program yang hasilnya diharapkan dapat ditunggu pada saat pemilu, pilpres, atau pilkada. Dengan kata lain, kebijakan dan program sistem inovasi perlu dibumikan ke atas dan ke bawah. 

Ada-ada aja memang. Tapi itulah, pemikiran-pemikiran 'kreatif' sering hadir karena dipengaruhi oleh keadaan yang sedang dihadapi.

Salah satu topik yang juga turut dibahas adalah fenomena ‘pembentukan’ komite dan sejenisnya oleh pengelola negara dalam mengaddress (menyikapi) suatu issu seperti penguatan kapasitas inovasi nasional. “Riak-Riak’ kelompok tertentu dalam pembentukan apa yang disebut Komite Inovasi Nasional merupakan suatu contoh. Pada hal langkah awal pencapaian suatu tujuan strategis berskala nasional haruslah didahului dengan pembahasan, penyusunan, dan penetapan strategi. Hanya setelah strategi ini sudah tergambar barulah diikitu dengan proses pembentukan organisasi yang sesuai dan alokasi sumber daya yang diperlukan.

Kegalauan inilah yang mendorong para peserta melontarkan pemikiran perlunya sukarelawan-sukarelawan  dalam turut mendorong implementasi penguatan SINAS Indonesia secara konkrit dalam batas-batas kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya. Tampaknya, Indonesia memerlukan banyak kelompok sukarelawan penguatan sistem inovasi tanpa harus tergantung atau menunggu upaya-upaya formal yang dilakukan oleh Pemerintah. Masa depan harus direbut bukan ditunggu, seperti kata Arifin Panigoro dalam bukunya Berbisnis  Itu (tidak) Mudah, begitu barangkali prinsip para peserta.

Sebagai pendatang baru dalam kelompok diskusi ini, saya merasakan suatu atmosfir yang berbeda. Atmosfir ini tercipta dari ragam latar belakang para peserta, lintas sektor, usia, kombinasi swasta dan publik, pendidikan, professi—dari praktisi, ilmuwan, sampai petinggi partai. Para peserta hadir secara sukarela cukup dengan undangan melalui sms. Diskusi yang dimulai sekitar jam 17.00 harus diakhiri pukul 20.00 meski semangat berdiskusi para perserta tetap tinggi. Sungguh suatu jejaring inovasi yang terbangun secara alami oleh mereka yang peduli.

Akankah para sukarelawan inovasi dari KINDO 21 dapat memberikan bukti dari wacana ini? Konon para anggota KINDO 21 diajak bukan hanya bisa merasakan suatu issu atau  persoalan tetapi juga diikuti dengan perbuatan. Bukankah Hidup Adalah  Perbuatan? Semoga!

Contributor:
Manaek Simamora
Center for Innovation, Indonesian Institute of Sciences - LIPI/
Association of Indonesian Business Incubators (AIBI)